Skip to main content

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PAKAN (TPP)

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang

Pakan merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup, khususnya ternak. Sehingga harus selalu terpenuhi ketersediaannya untuk menunjang hidup ternak. Ketersediaan pakan di alam cukup melimpah, namun pemanfaatannya belum maksimal. Pentingnya pakan dalam kebutuhan ternak untuk memenuhi hidup pokok seekor ternak. Saat ini kualitas pakan di Indonesia sangat rendah sehingga untuk mengatasi rendahnya kualitas pakan perlu adanya pengolahan tambahan untuk meningkatkan kualitas pakan. Pada praktikum Teknologi Pengolahan Pakan ini, mahasiswa belajar cara meningkatkan kualitas bahan pakan, sehingga pemanfaatannya dapat optimal, serta setiap hijauan yang berpotensi sebagai pakan dapat dimanfaatkan. Pengolahan pakan berupaya meningkatkan kandungan nutrisi tersebut dengan beberapa perlakuan, seperti; amoniasi, silase dan fermentasi. Proses amoniasi dengan penambahan urea, silase dengan penambahan bekatul sedangkan fermentasi dengan penambahan bekatul. Fungsi amoniasi yaitu untuk mengubah struktur bahan pakan yang keras menjadi lebih remah, silase bertujuan untuk meningkatkan kandungan nutrsi bahan pakan agar dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dan fermentasi untuk mengawetkan bahan pakan.




1.1.            Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktikum Teknologi Pengolahan Pakan adalah mahasiswa mampu membuat awetan hijauan segar seperti; Silase, Amoniasi, dan Fermentasi. Mahasiswa mampu memilih bahan-bahan yang bisa dibuat awetan hijauan segar, mengenal dan menentukan peralatan yang bisa digunakan untuk membuat hijauan segar serta mampu menilai kualitas bahan segar awetan.



BAB II
MATERI DAN METODE
Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan dilakasanakan pada..................., di ...................

2.1.      Materi
Bahan yang digunakan dalam praktikum Teknologi Pengolahan Pakan adalah klobot jagung dan bahan aditif urea untuk pembuatan amoniasi, rumput gajah dan bahan aditif dedak padi untuk pembuatan silase, serta tepung ikan dan bahan aditif ragi tape untuk pembuatan fermentasi. Bahan tambahannya berupa air untuk melarutkan dan mencuci peralatan. Peralatan yang digunakan berupa timbangan digital untuk mengukur berat bahan, gunting untuk memotong-motong, pisau untuk memotong, sabit untuk mencari rumput dan mencacah rumput, nampan sebagai alas bahan, plastic untuk membungkus bahan awetan, tali untuk mengikat plastik, gelas ukur untuk menakar air, pH meter untuk mengukur tingkat keasaman bahan awetan, moisture tester untuk menghitung kadar air, serta buku catatan untuk mencatat hasil praktikum.

2.2.      Metode
Metode membuat silase yang pertama adalah menyiapkan bahan berupa rumput raja, menimbang rumput raja sebanyak 600 gr, mencacah rumput raja lalu menjemur rumput raja hingga kering udara. Kemudian menghitung penyusutan kadar air, lalu menimbangnya seberat 100 gr sebanyak 3 sampel, kemudian menambahkan 6 gr dedak padi. Mencampurkan rumput raja dengan dedak padi hingga homogen kemudian memasukkan ke dalam plastik dan memadatkan hingga tidak terdapat udara. Melakukan pemerahan bahan selama 21 hari, dan mengamati keadaan organoleptik setiap seminggu sekali. Setelah itu menguji organoleptiknya meliputi warna, bau, tekstur, pH, jamur dan penggumpalan, lalu kemudian membungkus menggunakan media plastik, mengepres dalam keadaan anaerob lalu menyimpan dalam suhu kamar.
 Metode membuatan amoniasi hampir sama dengan proses membuat silase, yaitu mengawali dengan mengumpulkan bahan pakan, berupa klobot jagung, kemudian mencacah dan menimbang sebanyak 1100 gr. Setelah menimbang bahan pakan kemudian menjemur secara keringa matahari hingga klobot jagung tidak terlihat basah selama sehari dan menimbang kembali seberat 100 gr sebanyak 3 sampel, kemudian menimbang urea dengan jumlah 7,8 gr sebanyak 3 sampel. Setelah menimbang bahan tersebut kemudian menghomogenkan. Melakukan pemeraman bahan selama 21 hari dan melakukan uji organoleptik, kemudian membungkus menggunakan media plastik dalam keadaan anaerob, mengepres sampai benar-benar tidak ada udara dalam kemasan plastik. Setelah itu memeram bahan selama 21 hari dalam suhu kamar, dan mengamati keadaan organoleptik setiap seminggu sekali.
Metode membuat fermentasi, memulai dengan menyiapkan bahan berupa tepung ikan. Menimbang tepung ikan sebanyak 200 gr, kemudian menimbang ragi sebanyak 8 gr (4% bahan pakan). Meletakkan tepung ikan dalam nampan dan melarutkan 8 gr ragi dengan air sebanyak 380 gr. Mencampurkan tepung ikan dengan larutan ragi hingga homogen. Kemudian membagi rata menjadi 4 bagian, membungkus menggunakan media plastik kemudian menimbang sama rata. Setelah menimbang kemudian menghilangkan udara yang ada di dalamnya, mengikat dengan menggunakan raffia, melakukan uji organoleptik dan menyimpannya dalam keadaan anaerob.      

BAB III
PEMBAHASAN
3.1.      Silase
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil pengamatan silase disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pengamatan Organoleptik Silase
Kriteria
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Skor
Warna
Hijau
Seperti daun direbus
Seperti daun direbus
Seperti daun direbus
7
Bau
Khas rumput raja
Sedang
Sedang
Asam
6
Tekstur
Kasar
Sedang
Seperti hijauan segar
Seperti hijauan segar
4
pH
5,17
7
5,95
4,97
7
Jamur
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9
Penggumpalan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9


3.1.1.   Tekstur
Berdasarkan hasil praktikum uji organoleptik diperoleh hasil yaitu tekstur pada silase rumput raja yaitu kasar pada awal pembuatan, pada minggu pertama hingga ketiga tekstur berubah menjadi seperti hijauan segar. Tekstur yang ditunjukkan pada minggu ke-3 merupakan tekstur yang baik. Proses silase yang baik ditunjukkan dengan perubahan tekstur menjadi seperti asalnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Siregar (1996) menyatakan bahwa, secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu tekstur masih jelas seperti asalnya. Subekti et al. (2013) bahwa hal ini berarti bahwa tektur silase yang dihasilkan masih seperti asalnya yaitu agak padat dan tidak lembek. Hal ini terjadi karena kandungan nutrien  yang sama seperti serat kasar Hal ini disebabkan karena adanya penambahan bekatul yang merupakan karbohidrat yang membuat tekstur menjadi padat dan tidak lembek. Hal ini sesuai dengan pendapat Lado (2007) yang menyatakan bahwa penambahan karbohidrat mudah larut yang menyebabkan penurunan pH dan menghambat pertumbuhan jamur yang menyebabkan tekstur menjadi padat, tidak berlendir.

3.1.2.   Warna
Berdasarkan hasil praktikum uji organoleptik diperoleh hasil pengamatan yaitu warna silase rumput raja pada awal pembuatan yaitu hijau, setelah seminggu warna berubah menjadi hijau seperti direbus hingga minggu kedua, dan warna berubah menjadi seperti daun direbus pada minggu ketiga. Perubahan warna yang terjadi pada minggu ke-3 termasuk baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1996) bahwa, secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu warna masih hijau atau kecoklatan. Perubahan warna yang terjadi disebabkan oleh adanya proses respirasi aerobik pada tanaman. Menurut Reksohadiprodjo (1988) bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang mengalami proses ensilase disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam tanaman karena proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai gula tanaman habis.


3.1.3.   Bau
Berdasarkan hasil praktikum uji organoleptik silase rumput raja diperoleh hasil bahwa pada proses silase awal baunya khas rumput raja, kemudian berubah menjadi sedang pada minggu pertama dan kedua, dan bau asam setelah mencapai minggu ketiga. Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayat (2014) bahwa proses silase yang baik ditunjukkan dengan bau sedikit asam hingga sangat asam. Bau asam disebabkan oleh produksi asam laktat yang dihasilkan pada proses silase. Sependapat dengan Supriyantono dan Santoso (2010) bahwa silase yang dihasilkan berbau asam yang mengindikasikan produksi asam laktat selama ensilase. Kualitas hasil silase dipengaruhi oleh adanya penambahan dedak padi yang berfungsi sebagai karbohidrat yang mudah dicerna sehingga dapat dimanfaatkan dengan cepat oleh bakteri asam laktat. Sesuai dengan Ridwan et al. (2005) bahwa penambahan dedak padi bertujuan sebagai sumber karbohidrat yang diharapkan mudah larut sehingga dapat dengan cepat dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat untuk nutrisi untuk pertumbuhannya.

3.1.4.   Jamur
Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolohan Pakan dengan materi silase diperoleh hasil bahwa pada silase hari ke 21 tidak terdapat jamur yang tumbuh. Ini menunjukan bahwa silase yang dihasilkan berkualitas baik. Hal ini sesuai pendapat Sianipar dan Simanihuruk (2009) yang menyatakan bahwa karakteristik silase yang baik yaitu beraroma asam, tidak ada bercak atau jamur, tidak lengket jika digenggam (menggumpal), warna dekat dengan warna aslinya (kecoklatan). Tidak terdapat jamur yangtumbuh karena proses silase menggunakan proses anaerob sehingga tidak ada udara yang masuk dan mengkontaminasi proses silase. Tidak adanya udara yang masuk mencegah tumbuhnya jamur. Sesuai dengan  Coblentz (2003) untuk memperoleh kondisi anaerob dan asam laktat dalam waktu yang singkat dapat dilakukan dengan cara menghilangkan dan mencegah masuknya udara sehingga dapat menghambat pertumbuhan jamur selama masa penyimpanan. Aktivitas mikroorganisme seperti jamur dapat dikurangi dengan mengondisikan ensilase pada keadaan anaerob dengan cara dipadatkan. Hal ini sesuai pendapat Sianipar dan Simanihuruk (2009) bahwa dengan pemadatan menyebabkan mkrooragnisme aerob kurang berkembang yang dapat mengurangi kerusakan saat proses ensilase.

3.1.5.   Penggumpalan
Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolohan Pakan dengan materi pembuatan silase diperoleh hasil bahwa pada silase hari ke 21 tidak terdapat penggumpalan. Ini menunjukan bahwa silase yang dihasilkan berkualitas baik. Hal ini sesuai pendapat Sianipar dan Simanihuruk (2009) yang menyatakan bahwa karakteristik silase yang baik yaitu beraroma asam, tidak ada bercak atau jamur, tidak lengket jika digenggam (menggumpal), warna dekat dengan warna aslinya (kecoklatan). Tidak terjadi penggumpalan karena tidak adanya aktivitas mikroorganisme yang dapat merusak kualitas dari silase. Aktivitas mokroorganisme dapat dikurangi dengan mengondisikan ensilase pada keadaan anaerob dengan cara pemadatan pada saat pemeraman. Hal ini sesuai pendapat Sianipar dan Simanihuruk (2009) bahwa dengan pemadatan menyebabkan mikroorganisme kurang berkembang yang dapat mengurangi kerusakan saat proses ensilase.

3.1.6.   pH
Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolohan Pakan dengan materi pembuatan silase diperoleh hasil bahwa pH silase mengalami penurunan dari 5,17 menjadi 4,97. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian Ohshima et al. (1997) menyatakan bahwa silase yang baik dapat terjadi apabila pH silase telah mencapai kurang dari 4,5. pH lebih tinggi terjadi karena waktu pemeraman yang hanya 21 hari sehingga proses silase kurang sempurna. pH yang semakin asam terjadi karena adanya pertumbuhan dan aktivitas dari bakteri asam laktat. Hal ini sesuai pendapat Santoso (2010) bahwa peningkatan bakteri asam laktat menyebabbkan penurunan pH menjadi asam. Terjadi perubahan pH juga disebabkan oleh zat-zat yang terkandung di dalam bahan pakan. Sesuai dengan pendapat Shen et al. (2012) bahwa tinggi ataupun rendahnya kualitas silase dipengaruhi oleh zat-zat kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut

3.2       Amoniasi
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil pengamatan Amoniasi disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 2.Hasil Pengamatan Organoleptik Amoniasi
Kriteria
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Skor
Warna
Coklat kekuningan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Coklat tua
7
Bau
Khas
Amonia menyengat
Amonia menyengat
Amonia menyengat
3
Tekstur
Kasar
Kasar
Agak remah
Agak remah seperti bahan asal
4
pH
4,45
7
9,10
9,28
9
Jamur
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9
Penggumpalan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9


3.2.1.   Tekstur
Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik amoniasi pada klobot jagung pada awal pembuatan hingga minggu pertama memiliki tekstur kasar, pada minggu kedua dan ketiga agak remah, nilai skor yang dimiliki yaitu 4. Hal ini sesuai dengan pendapat Kushartono (2001) yang menyatakan bahwa tekstur yang lunak (remah) dan mudah mutus merupakan tekstur amoniasi yang sempurna. Perubahan tekstur yang semula kasar menjadi agak remah ini dikarenakan adanya proses amoniasi yang bereaksi antara klobot jagung dengan urea. Urea bersifat alkali yang berfungsi untuk memecah ikalatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga proses amoniasi dengan menggunakan urea dapat mengubah tekstur bahan pakan yang kaar menjadi remah. Sesuai dengan Andayani (2008) bahwa  amoniasi dibutuhkan enzim urease untuk membantu agar terbentuknya amonia dari larutan urea yang berfungsi untuk merenggangkan ikatan lignosellulosa dan lignohemisellulosa.

3.2.2.   Warna
Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik amoniasi pada klobot jagung diperoleh hasil yaitu pada awal pembuatan berwarna coklat, pada minggu pertama dan kedua berwarna kuning kecoklatan, sedangkan pada minggu ketiga berwarna coklat tua, sehingga memiliki nilai skor 7. Hal ini sesuai pendapat Zailzar et al. (2011) yang menyatakan bahwa kriteria amoniasi yang baik yaitu berwarna kuning kecoklatan dan tidak berjamur. Sependapat dengan Sumarsih (2003) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu berwarna kecoklatan. Perubahan pada warna kuning kecoklatan menjadi coklat tua ini terjadi karena didalam pembuatan amoniasi pada klobot jagung dipadatkan sehingga dalam kondisi anaerob. Penambahan dengan urea membuat perubahan warna menjadi gelap. Hal ini sesuai dengan Supriyantin (2006) bahwa perlakuan denganurea mampu memekatkan terhadap pengamatan warna yaitu coklat cenderung gelap.

3.2.3.   Bau
Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik amoniasi pada klobot jagung diperoleh hasil yaitu pada awal pembuatan berbau khas klobot jagung, pada minggu pertama dan kedua bau dan rasa amonia yang menyengat sedangkan minggu ketiga bau amonia tidak menyengat, nilai skor yang diperoleh yaitu 6. Hal ini sesuai pendapat Kushartono (2001) yang menyatakan bahwa ciri-ciri khas bau amonia yang baik yaitu baunya menyengat, hal ini menunjukkan bahwa didalam urea telah terhidrolisis secara maksimal. Sependapat dengan Sumarsih (2003) bahwa amonia sangat berperan terhadap bau khas amonia yang menyengat. Perubahan bau yang terjadi karena adanya proses yang menghasilkan unsur N dan adanya proses hidrolisis air.Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafi (2008) yang menyatakan bahwa perlakuan amoniasi dapat terurai menjadi NH3 dan CO2, dengan molekul air NH3 akan mengalami hidrolisis menjadi NH4+dan OH-‑. Penambahan urea dapat meningkatkan kandungan protein kasar pada kelobot jagung karena adanya proses yang menhasilkan unsur N.
3.2.4.   Jamur                 
Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik amoniasi pada kelobot jagung memiliki pada minggu pertama, kedua dan ketiga tidak ada jamur yang terdapat didalam klobot jagung, sehingga dalam proses amoniasi pada kelobot jagung berhasil dan nilai skor yang dimiliki yaitu 9. Hal ini sesuai pendapat Zailzar et al. (2011) yang menyatakan bahwa kriteria amoniasi yang baik yaitu berwarna kuning kecoklatan dan tidak berjamur. Tidak terdapat jamur pada proses amoniasi karena adanya penambahan urea, dan perlakuan secara anaerob yaitu dengan menghilangkan udara pada saat peeraman sehingga dapat mencegah timbulnya jamur. Hal ini sesuai pendapat Shiddeqy (2005) yang menyatakan bahwa dalam proses amoniasi dilakukan dengan cara anaerob agar didalam sample tidak terjadi pertumbuahan jamur.

3.2.5.   Penggumpalan
Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik amoniasi pada kelobot jagung memiliki pada minggu pertama, kedua dan ketiga tidak ada penggumpalan, sehingga dalam proses amoniasi pada klobot jagung berhasil dan nilai skor yang dimiliki yaitu 9. Hal ini sesuai pendapat Sumarsih (2003) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang berhasil yaitu tidak terjadi pengumpalan dan pH yang dihasilkan yaitu sekitar 8. Tidak terjadi penggumpalan karena proses amoniasi terjadi secara anaerob sehingga tidak adanya jamur yang tumbuh pada proses amoniasi klobot jagung yang menggunakan urea. Ph yang basa, merupakan faktor yang menyebabkan tidak adanya penggumpalan pada proses amoniasi. Hal ini sesuai pendapat Usmiati (2009) yang menyebutkan bahwa, penggumpalan bahan pakan, terjadi dalam keadaan pHrendah dan relative menurun.

3.2.6.   pH
Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik amoniasi pada kelobot jagung memiliki pada minggu pertama, kedua dan ketiga selalu mengalami peningkatan pada minggu pertama pH netral yaitu 7 sedangkan pada minggu kedua dan ketiga pH menjadi basa yaitu 9,10 dan 9,28 dan mempunyai skor 9. Hal ini sesuai pendapat Sumarsih, (2003) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang berhasil yaitu tidak terjadi pengumpalan dan pH yang dihasilkan yaitu sekitar 8. Sependapat dengan Sumarsih dan Tampoebolon (2003) yang menyatakan bahwa bahan pakan hasil amoniasi lebih lembut dibandingkan bahan pakan aslinya, tidak berjamur atau menggumpal, tidak berlendir, dan pH yang dihasilkan sekitar 8 atau lebih. pH yang selalu meningkat menjadi basa. Sifat basa pada amoniasi akan memotong ikatan glikosidadi dalam selulosa sehingga dapat menghancurkan mikroba-mikroba yang ada didalam rumen. Amoniasi dalam kondisi basa ini dikarenakan adanya pemecahan ikatan lignin dan hemiselulosa oleh alkali karena adanya penambahan urea pada klobot jagung. Hal ini sesuai dengan pendapat Umiyasih (2008) yang menyatakan bahwa didalam sifat basa dalam proses amoniasi akan membengkakkan serat/memotong ikatan glikosida di dalam selulosa (proses swelling) sehingga serat menjadi mudah dihancurkan oleh mikroba-mikroba didalam rumen.

3.3.      Fermentasi
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Organoleptik Fermentasi
Kriteria
Hari 0
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Skor
Warna
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
4
Bau
Sedang
Amis
Menyengat
Menyengat
Menyengat
9
Tekstur
Kasar
Kasar
Lembek
Lembek
Lembek
9
pH
5,78
5,82
5,87
6,02
6,36
3
Jamur
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9
Penggumpalan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9

3.3.1.   Tekstur
Berdasarkan hasil praktikum fermentasi diperoleh hasil yaitu tekstur pada awal pembuatan hingga hari pertama bertekstur kasar, sedangkan tekstur pada hari kedua sampai hari keempat yaitu lembek. Hal ini sesuai dengan pendapat Handayani et al. (2013) bahwa ciri silase yang baik yaitu teksturnya tidak berubah sehingga seperti bentuk asal, tidak menggumpal, warna seperti bahan silase, rasa dan bau asam, tidak ada lendir. Tekstur yang lembek ini terjadi karena adanya penambahan air pada starter (ragi tape). Hal ini sesuai dengan pendapat Rosida (2010) yang menyatakan bahwa volume starter yang ditambahkan dapat menambah kadar air dari produk tepung ikan sehingga semakin lembek jika dibandingkan tanpa starter. Lamanya waktu pemeraman selama fermentasi juga dapat mempengaruhi terhadap tekstur dari proses fermentasi tepung ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosida (2010) yang menyatakan bahwa semakin lama fermentasi, semakin banyak protein yang terhidrolisis, dan menyebabkan tekstur yang semakin lembek.

3.3.2.   Warna
Berdasarkan hasil pengamatan, warna tepung ikan terlihat berwarna dominan coklat, dan memiliki warna samar agak kehijauan dan agak kekuningan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kushartono (2000) yang menyatakan bahwa tepung ikan memiliki warna coklat kehijau-hijauan. Warna yang berbeda dipengaruhi oleh bahan yang digunakan serta lamanya penyimpanan bahan pakan. Namun pada penelitian ini terlihat tidak terjadi perubahan warna yang signifikan, hal ini terjadi karena waktu pemeraman hanya 4 hari sehingga aktivitas mikroba pada ragi belum optimal dan belum terjadi kerusakan pigmen. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggraeni (2014) yang menyatakan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka pigmen akan mengalami kerusakan dan ikut luruh dalam air.
3.3.3.   Bau
Berdasarkan uji organoleptik terhadap bau tepung ikan sebelum dilakukan fermentasi yaitu amis, karena bahan bakunya adalah ikan. Haryati et al. (2006) menyatakan bahwa bau khas dari tepung ikan adalah amis. Bau amis terjadi karena bahan baku yang digunakan adalah ikan. Ditambahkan oleh pendapat Jatmika et al. (2013) menyatakan bahwa tepung ikan memiliki aroma yang khas ikan, yaitu amis. Kemudian setelah dilakukan fermentasi, baunya menjadi menyengat yang diakibatkan reaksi bakteri Saccharomyces cerevisiae, dalam keadaan anaerob yang mendegradasi protein. Reo (2013) menambahkan bahwa bau tengik yang dihasilkan pada tepung ikan, secara umum adalah diakibatkan adanya perompakan yang dilakukan oleh mikroorganisme.

3.3.4.   Jamur


Berdasarkan pengamatan organoleptikselama praktikum, tidak ditemukan adanya jamur. Handayani et al. (2013) bahwa ciri silase yang baik yaitu teksturnya tidak berubah sehingga seperti bentuk asal, tidak menggumpal, warna seperti bahan silase, rasa dan bau asam, tidak berjamur dan tidak berlendir. Tidak terdapat adanya jamur karena pada proses pembungkusan tepung ikan yang difermentasi sudah tepat, sehingga tidak ada gangguan jamur dari luar, karena secara umum jamur hidup secara aerob dengan membutuhkan oksigen. Soesanti (2006) menyatakan bahwa beberapa jamur, misalnya jenis Jamur benang pada umumnya bersifat aerob obligat, pH pertumbuhan berkisar 2-9, suhu pertumbuhan berkisar 10-35ºC.
3.3.6.   pH
Berdasarkan hasil menguji pH fermentasi tepung ikan sebanyak 4 kali selama 4 hari, diperoleh hasil bahwa terjadi kenaikan pH yaitu dari 5,78 menjadi 6,36. Hasil ini menunjukkan bahwa fermentasi yang dilakukan tidak berhasil, karena pH yang dihasilkan untuk fermentasi harusnya semakin turun atau menjadi asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (2001) bahwa fermentasi dikatakan berhasil jika pH dapat terjadi penurunan dengan cepat dan pH fermentasi tetap rendah. Terjadinya kenaikan disebabkan oleh sedikitnya starter (ragi tape) yang digunakan untuk memfermentasi tepung ikan. Selain sedikitnya starter yang digunakan, juga disebabkan karena substrat yang digunakan dan starternya kurang sesuai. Ragi tape digunakan dalam fermentasi karbohidrat, sedangkan tepung ikan merupakan sumber protein. Perubahan pH juga dipengaruhi oleh lamanya masa penyimpanan. Seperti pendapat Shafiee et al. (2010) menambahkan bahwa kualitas pH pada fermentasi dipengaruhi oleh waktu inkubasi proses fermentasi yang dilakukan.


BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN
4.1.      Simpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkanbahwa bahan pakan ternak dapat ditingkatkan kualitasnya melalui proses silase, amoniasi dan fermentasi. Proses pembuatan silase berlangsung dalam keadaan asam, amoniasi dalam keadaan basa dan fermentasi dalam keadaan asam yang mendekati netral. Faktor yang menentukan kualitas silase, amoniasi dan fermentasi adalah lamanya waktu memeram, jumlah bahan aditif yang digunakan, dan jenis bahan yang digunakan.
4.2.      Saran
Sebaiknya dalam melakukan praktikum, menggunakan peralatan yang lebih baik dan lebih lengkap, agar praktikum dapat berjalan dengan maksimal. Selain itu, penggunaan bahan untuk silase, amoniasi dan fermentasi seharusnya lebih beragam sehingga pengetahuan mahasiswa terhadap bahan pakan yang dapat diolah dan ditingkatkan kualitasnya semakin banyak.

DAFTAR PUSTAKA
Andayani, J. 2008. Evaluasi Kecernaan In Sacco Beberapa Pakan Serat yang Berasal dari Limbah Pertanian dengan Amoniasi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 11 (2).

Anggraeni, Y. P., dan S. Y. Sudarminto. 2014. Pengaruh Fermentasi Alami pada Chips Ubi Jalar Terhadap Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar Terfermentasi.

Coblenzt, W. 2003. Principles of Silage Making. http://www.uaex.edu

Hanafi, N. D. 2008. Teknologi pengawetan pakan ternak. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Handajani, H., S. D. Hastuti dan Sujono. 2013.Penggunaan berbagai asam organik dan bakteri asam laktat terhadap nilai nutrisi limbah ikan. Depik. 2 (3) : 126-132.

Haryati, S., L. Sya’rani dan T.W. Agustini. 2006. Kajian  Substitusi Tepung Ikan Kembung, Rebon, Rajungan Dalam Berbagai Konsentrasi  Terhadap Mutu Fisika-Kimiawi Dan Organoleptik Pada Mie Instan. Jurnal Pasir Laut. 2 (1): 37-51.

Hidayat, N. 2014. Karakteristik dan kualitas silase rumput raja menggunakan berbagai sumber dan tingkat penambahan karbohidrat fermentable.Agripet. 14 (1).

Jatmiko, C.P., E. Noorhartati, F.S. Rejeki. 2013. Optimasi Proses Pengolahan Mi Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis). J. REKA Agroindustri. 1 (1).

Kushartono, B. 2000. Penentuan Kualitas Bahan Baku Pakan dengan Cara Organoleptik. Temu Teknin Fungsional non Peneliti: 217-223.

Kushartono, B. 2001. Teknik penyimpanan dan peningkatan kualitas Jerami padi dengan cara amoniasi. Buletin Teknik Pertanian. 6 :81-83.

Lado, L. 2007. Evaluasi Kualitas Silase Rumput Sudan (Sorghum Sudanense) Pada Penambahan Berbagai Macam Aditif Karbohidrat Mudah Larut. Tesis. Pasca sarjana Program studi ilmu peternakan. Universitas gadjah mada, Yogyakarta.

Murtidjo, B. A. 2001. Beberapa Metode Pengolahan Tepung Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Ohshima, M., Cao, L. M., Kimura, E. and Yokota, H., 1997. Fermentasi Kuality of Alfalfa and Italian Reygrass silase Treated From both the Herbages. Anim. Feed Sci. Technol. 68: 41-44

Reksohadiprodjo, S, 1988. Pakan Ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta.

Reo, A. R. 2013. Mutu Ikan Kakap Merah yang Diolah dengan Perbedaan Konsentrasi Larutan Garam dan Lama Pengeringan. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 9(1): 35-44

Ridwan, R., S. Ratnakomala, Kartina G. dan Widyastuti Y. 2005. Pengaruh Penambahan Dedak Padi dan Lactobacillus planlarum lBL-2 dalam Pembuatan Silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureum). Media Peternakan. 28(3): 117 – 123

Rosida dan Eny, K. B. S. 2010. Pengaruh Konsentrasi Starter Lactobacillus plantarum dan Lama Fermentasi terhadap Kualitas dan Kerusakan Produk Terasi. Jurnal Protein :72-76.

Santoso, B., B. TJ. Hariadi., Hanik, H dan Abubakar, H. 2010. Nilai nutritif dan kecernaan nutrien  in vitro silase rumput raja yang  ditambahkan  bakteri asam laktat  indigenous rumput dan tanin daun akasia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Shafiee, G., A. M. Mortazavian, M. A. Mohammadifar, M. R. Koushki, A. Mohammadi and R. Mohammadi. 2010. Combined effects of dry matter content, incubation temperature and final pH of fermentation on biochemical and microbiological characteristics of probiotic fermented milk. African Journal of Microbiology Research. 4 (12): 1265-1274.

Shen, C., X. Shang, X. Chen, Z. Dong and J. Zhang. 2012. Growth, chemical components and ensiling characteristics of king grass at different cuttings. African Journal of Biotechnology. 11 (64): 12749-12755.

Shiddeqy M. I. 2005. Pakan Ternak Jerami Olahan Departemen Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Sianipar, J.  dan K. Simanihuruk. 2009. Performans Kambing Sedang Tumbuh Yang Mendapat  Pakan Tambahan Mengandung  Silase Kulit Buah Kakao. Loka Penelitian Kabing Potong, PO Box 1, Sei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara.

Siregar, M. E, 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soesanti, N.H. dan Ratna S. 2006. Identifikasi Jamur dan Deteksi Aflatoksin B1 terhadap Petis Udang Komersial. BIODIVERSITAS. 7(3) : 212-215

Subekti, G., Suwarno, N. Hidayat. Penggunaan beberapa aditif dan bakteri asam laktat terhadap karakteristik fisik silase rumput gajah pada hari ke- 14. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (3): 835-841, September 2013.

Sumarsih, S. dan B. I. M. Tampoebolon. 2003. Pengaruh Aras Urea Dan Lama Pemeraman Yang Berbeda Tehadap Sifat Fisik Eceng Gondok Teramoniasi. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 4: 298-301.

Supriyantin, A. 2006. Perubahan Kualitas Fisik Organileptik Pod Kakao (Theobrena cacao) yang Diamoniasi dengan Aras Urea Berbeda. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

Supriyantono dan Santoso. 2010. Introduksi pakan silase pada peternak di ukm karya Bersatu dan pondok pesantren darussalam kampung aimasi. Jurnal Ilmu Peternakan, Edisi Desember: 81 – 85

Usmiati, S. dan Abubakar. 2009. Teknologi Pengolahan Susu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
                                        
Zailzar, L., Sujono, Suyatno dan A. Yani. 2011. Peningkatan Kualitas Dan Ketersediaan Pakan Untuk Mengatasi Kesulitan di Musim Kemarau Pada Kelompok Peternak Sapi Perah. Jurnal Dedikasi. 8.

Comments

Popular posts from this blog

Kalopo (Calopogonium mucunoides)

Tanaman ini tumbuh menjalar dan bisa memanjang sampai 30- 50 cm. Tanaman ini beradaptasi pada tanah yang basah dan tidak tahan terhadap kekeringan. Batang dan daun yang muda berbulu, berwarna coklat keemasan. Bentuk daun bulat dan berkelompok 3 dalam satu tangkai. Bunganya kecil berwarna ungu. Jenis legum ini kurang disukai oleh ternak karena daun  dan batangnya berbulu. Biasa ditanam dengan biji dengan kebutuhan 6-9 Kg/ha. Dapat ditanam dengan rumput Rhodes dan  Brachiaria .

Zat Pengharum pada Pakan Ayam

Untuk menambah daya rangsang ayam terhadap pakan, bisa juga ditambahkan pengharum yang beraroma khusus, biasanya berasal dari ekstrak tumbuhan. Pengharum ini dapat diperoleh di importir obat ternak atau toko-toko kimia. Bahan yang bisa dibeli di toko kimia seperti pengharum yang beraroma vanila. Penggunaan pengharum dalam pakan tidak mutlak. Tidak semua pakan komersial pabrik menggunakan pengharum. Dengan menggunakan bahan baku berkualitas baik akan dihasilkan pakan dengan aroma yang khas. Proses pencetakan pelet melalui tahapan penguapan (steaming) akan memberikan aroma yang lebih merangsang ayam untuk meningkatkan konsumsi pakan.

Laporan Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak (IKT) | Nekropsi

BAB I PENDAHULUAN     Nekropsi merupakan pemeriksaan kondisi jaringan tubuh ternak yang dilakukan dengan cara membedah atau membuka rongga tubuh sehingga fisik organ dalam ternak dapat diamati. Dalam penggunaanya, nekropsi banyak digunakan dalam hal pemeriksaan unggas yang diduga telah terjangkit penyakit. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui penyakit yang diderita oleh unggas sehingga dapat ditentukan penanganan yang tepat untuk menanggulangi penyakit tersebut agar peternakan terhindar dari kerugian finansial yang lebih besar. Maka dari itu nekropsi sangat penting untuk dipelajari, mengingat pentingnya menjaga kesehatan unggas dalam keberlangsungan usaha peternakan.     Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan lebih terlatih dalam melakukan nekropsi pada unggas dan mampu menganalisa penyakit yang diderita oleh unggas. Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan lebih memahami secara mendalam mengenai karakteristik penampilan luar dan organ dalam unggas yang terkena penya