I. JUDUL : MANAJEMEN AYAM PEJANTAN PADA PERUSAHAAN PEMBIBIT PT. SUPER UNGGAS JAYA BOYOLALI |
II. LATAR BELAKANG
Kesuksesan usaha peternakan ayam ras pedaging final stock sangat dipengaruhi oleh bibit yang baik dan berkualitas. Bibit yang berkualitas baik berasal dari perusahaan pembibitan yang menerapkan sistem pemeliharaandan manajemen induk yang baik. Kesuksesan perusahaan pembibitan dalam menghasilkan bibit ayam yang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu breeding, feeding, dan managementyang baik.
Pada perusahaan pembibit yang besar (jumlah ayam yang dipelihara relatif banyak) biasanya dilakukan perkawinan secara alami. Maka manajemen ayam pejantan sangat diperlukan dalam usaha pembibitan untuk menghasilkan ayam pedaging final stockyang berkualitas baik dan seragam. Manajemen ayam pejantan pembibit meliputi pemeliharaan ayam pejantan pembibit, kontrol bobot badan, seleksi dan culling, perkandangan, dan pencegahan penyakit.
III. TUJUAN
Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan adalah untuk mengetahui, memperoleh informasi, memahami dan mempelajari manajemen usaha peternakan pembibitan ayam pedaging ayam pedaging khususnya dalam hal manajemen ayam pejantan parent stock di PT. Super Unggas Jaya, Boyolali.
IV. MANFAAT
Manfaat yang diperoleh dari kegiatan Praktek Kerja Lapangan adalah mendapat informasi, menambah pengetahuan,meningkatkan keahlian danpengalaman sertadiharapkan dapat meningkatkan ketrampilan tentang manajemen usaha peternakan pembibitan ayam pedaging khususnya dalam hal manajemen ayam pejantan parent stock. Selain itu mahasiswa dapat mempraktekkan dan membandingkan antara materi yang diterima dari kegiatan perkuliahan dengan yang ada di lapangan.
V. TINJAUAN PUSTAKA
5.1. Ayam Pembibit Pedaging
Ayam pembibit atau parent stock adalah ayam penghasil final stock dan merupakan hasil pemeliharaan dengan metode perkawinan tertentu pada peternakan generasi grand parent stock(Sudaryani dan Santosa, 2002). Menurut Peraturan Direktorat Jendral Peternakan (2007) bibit induk atau Parent Stock (PS) adalah bibit anak ayam ras hasil produksi pembibitan ayam bibit tetua (Grand Parent Stock/GPS) yang mempunyai persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku untuk menghasilkan bibit niaga atau bibit sebar. Tipe ayam pembibit parent stock ada dua macam yaitu tipe ayam bibit pedaging dan tipe ayam petelur (North dan Bell, 1990). Ciri ayam pembibit pedaging yaitu bobot badan yang besar, jengger dan pial merah cerah, mata bersinar.
Ayam yang digolongkan tipe pedaging menghasilkan daging relatif banyak dalam waktu yang cepat. Ayam tipe pedaging memiliki karakteristikpenghasil telur yang relatif lebih sedikit, bergerak lambat dan tenang, dewasa kelamin lebih lambat, dan beberapa ayam tipe pedaging memiliki bulu kaki dan masih suka mengeram (Sudaryani dan Santosa, 2002).
5.2. Manajemen Pemeliharaan Ayam Pejantan Pembibit
Dalam pemeliharaan ayam pejantan pembibit, manajemen pemeliharaan pejantan sangatlah penting agar menghasilkan pejantan siap kawin yang unggul, selain itu juga diharapkan mempunyai produksi yang baik dan seragam (North dan Bell, 1990).
5.2.1. Bibit Pejantan
Bibit pejantan diperoleh dari hasil seleksi bobot ayam jantan umur 4 minggu dengan memilih anak yang memiliki bobot badan sekitar 590-725. Kemudian umur 12 minggu dilakukan seleksi pejantan seperti ayam jantan yang kebetinaan, bobot badan yang jauh dari standar, dan ayam jantan yang kaki bagian dalam bengkok dan ayam jantan disisakan 11% dari populasi betina. Selain itu juga dilakukan seleksi terhadap ayam yang sakit atau lumpuh, dan ayam jantan yang steril. Pada umur 20 minggu dilakukan seleksi ulang dan ayam jantan disisakan 10% dari populasi betina (Sudaryani dan Santosa, 2004).
Selain seleksi, bibit pejantan juga juga diperoleh dari hasil cullingyang dilakukan pada pemeliharaan ayam jantan periode sebelumnya. Pada periode starter, ayam yang diafkir sebaiknya yang mempunyai ukuran/bobot dibawah standar, tubuh cacat, gerakan tidak lincah, tidak aktif mencari makan, dan suka menyendiri. Untuk cullingpada periode grower adalah ayam yang konsumsi pakannya rendah dan gerakan kurang lincah. Sedangkan culling pada periode layerdilakukan pada pejantan yang steril dan tampak terserang penyakit. Menurut Hasan (2004) dilakukannya culling sangat menguntungkan peternak karena pakan yang diberikan pada ayam akan dimanfaatkan dengan baik untuk pertumbuhan maupun produksi.
Pada saat pencampuran pejantan dan betina, teknik manajemen tambahan sangat diperlukan. Perhatian harus diberikan pada manajemen perkawinan, identifikasi kesalahan sexing, dan rasio pejantan dan betina.
5.3. Manajemen Perkawinan
Perkawinan harus dimulai dari umur 21 minggu (147 hari). Ayam pejantan dan betina harus matang secara seksual sebelum perkawinan terjadi. Pejantan yang belum dewasa tidak boleh dikawinkan dengan betina dewasa. Sebuah jantan dewasa akan memiliki jengger dan pial yang berkembang dengan baik dan berwarna merah. Ayam betina dewasa secara seksual juga akan memiliki jengger merah terang dan pial. Perkawinan harus ditunda 7 sampai 14 hari jika pejantan belum mencapai kemampuan seksualnya (Aviagen, 2013). Hal ini akan memberikan ayam lebih banyak waktu untuk menjadi dewasa secara seksual. Jika pejantan yang lebih dewasa dari pada betina, maka harus dilakukan adabtasi secara bertahap. Misalnya, misalnya mencampur pejantan dengan rasio 1 pejantan untuk setiap 20 betina, kemudian secara bertahap menambah satu pejantan selama 14 sampai 21 hari ke depan untuk mencapai rasio perkawinan yang diinginkan. Kurangnya produksi sperma atau keabnormalan yang kadang terjadi mengakibatkan pejantan yang steril (Suprijatna dan Kartasudjana, 2006).
Pada periode perkawinan, untuk pejantan yang sudah besar secara fisik (sekitar umur 26 minggu), perlu dikeluarkan dari tempat pakan betina, Perilaku makan harus dipantau secara seksama (setidaknya dua kali seminggu). Hal ini diperlukan untuk memastikan sistem pemberian pakan yang terpisah antara pejantan dan betina bekerja dengan baik dan memastikan pakan didistribusikan dengan benar dan merata (Aviagen, 2013).
5.4. Penggantian Pejantan
Rasio Perkawinan harus ditinjau mingguan. Berdasarkan penilaian kondisi fisik dan berat badan, setiap pejantan dianggap tidak produktif harus diganti.Menurut Aviagen (2013) pejantan yang baik untuk kawin harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Berat badan seragam.
• Bebas dari kelainan fisik (waspada dan aktif).
• Kuat, kaki dan jari kaki lurus.
• Mempunyai bulu yang baik.
• Berdiri tegak.
• Otot dan kondisi tubuh yang baik .
• Jengger, pial dan menunjukkan siap kawin.
Mengganti pejantan tidak produktif dari kawanan harus dilakukan secara berkesinambungan. Mengganti pejantan dalam jumlah besar pada satu waktu akan menyebabkan stres.
Terlalu banyak pejantan menyebabkan over-mating, kawin terganggu, dan perilaku abnormal. Over-mating akan mengakibatkan penurunan dalam jumlah fertilitas, daya tetas, dan telur. Pada tahap awal perkawinan, masih terlihat normal karena sedikit bulu yang rontok di bagian belakang kepala betina dan bulu di bagian belakang pangkal ekor. Namun ketika terlalu banyak yang rontok, maka ini adalah tanda kawin berlebihan. Jika rasio kawin tidak berkurang, kondisi akan memburuk dengan bulu ayam betina yang rontok dari daerah punggung dan terjadi goresan kulit. Hal ini dapat menyebabkan menurunya kenyamanan ternak, kesehatan ayam betina menurun, dan mengurangi produksi telur. Luka yang berlebihan dan kerusakan bulu pada pejantan sebagai akibat dari pertarungan antar ayam pejantan juga dapat terjadi (Aviagen, 2013). Over-mating dapat dilihat adanya ayam betina yang bersembunyi dari pejantan di bawah peralatan, dalam kotak sarang, atau tidak mau turun dari area slat. Pejantan yang terlalu banyak harus dikeluarkan dengan cepat atau kerugian yang cukup besar. Tanda-tanda over-mating umumnya menjadi lebih jelas pada hari ke 182-189 (26-27 minggu), dan menjadi paling jelas pada hari ke 210 (30 minggu).
5.5. Manajemen Pemberian Pakan
Pada pemeliharaan pejantan pemberian pakan tidak diberikan secara ad libitummelainkan secara terbatas. Manajemen pejantan sangat penting untuk menjaga fertilitas telur tetap tinggi. Pemisahan tempat pakan dapat dilakukan dengan memanfaatkan perbedaan ukuran kepala antara pejantan dan betina sehingga berat badan dan keseragaman setiap jenis kelamin dapat lebih terkontrol. Pemisahan tempat pakan mengharuskan manajemen sangat berhati-hati, dan perilaku makan harus dipantau secara teratur. Minimal dipantau dua kali seminggu hingga umur 26 minggu. Beberapa pejantan mungkin masih dapat mengakses tempat pakan dan mencuri pakan betina. Pemantauan yang cermat dari berat badan dan perilaku makan yang diperlukan untuk memastikan bahwa pejantan dan betina menerima cukup pakan untuk mempertahankan kenaikan target berat badan (Aviagen, 2013). Setelah umur 26 minggu, pemantauan perilaku makan dapat dikurangi menjadi sekali seminggu. Peralatan pakan harus diatur dengan benar dan diperhatikan, apabila tidak maka akan berdampak distribusi pakan yang tidak merata dan menyebabkan penurunan produksi telur dan kesuburan.
Kekurangan pakan pada pejantan dapat terjadi selama tahap awal produksi setelah pencampuran pejantan dan betina. Hal ini karena perilaku kawin pada tahap ini sangat aktif dan pejantan belum mencapai persyaratan kematangan fisiologis sehingga kebutuhan nutrisi sangat tinggi. Pejantan akan menjadi kusam dan lesu, menunjukkan penurunan aktivitas dan sangat jarang berkokok jika mereka sedang kurang makan. Jika kondisi ini tetap berlangsung maka jengger dan pial menjadi lembek, pejantan akan kehilangan berat badan dan kesehatan menurun, dan akhirnya molting akan terjadi. Tindakan yang harus dilakukan dari gejala-gejala tersebut adalah segera mengevaluasi pemberian pakan dan rasio populasi (rasio pejantan 10% dari populasi). Langkah selanjutnya yaitu pemberian pakan ditambah 3-5 g / ekor / hari. Pemberian pakan pejantan dengan kandungan larutan serat yang tinggi, rendah protein dan kandungan kalsium akan membantu perilaku pejantan terhadap betina, membantu keseragaman, dan kesehatan pejantan (Hubbard, 2011).
Prinsip dan prosedur untuk manajemen pejantan periode pasca-puncak mirip dengan yang digunakan dalam periode pra-puncak. Menyesuaikan jumlah pakan untuk meningkatkan bobot badan secara konstan sesuai umur pejantan adalah cara yang paling efektif untuk mengontrol berat badan dan kondisi tubuhnya. Dengan demikian produktifitas pejantan tetap dapat dipertahankan. Pejantan harus sering ditimbang (setidaknya sekali seminggu) untuk memastikan hal ini tercapai. Saat penimbangan, sabaiknya sampel yang diambil jangan terlalu kecil (kurang dari 10% dari populasi) karena terlalu tidak akurat dan akan menyebabkan kesalahan dalam manajemen selanjutnya (Aviagen, 2013).
5.5.1. Manajemen Tempat Pakan
Apabila ayam jantan dibesarkan secara terpisah, maka disarankan ketika memindah pejantan ke kandang layer satu minggu sebelum betina. Hal ini membantu pejantan untuk belajar makan dari tempat makan khusus pejantan (Leeson dan Summers, 2009).
Ada 3 alat yang biasa digunakan untuk tempat pakan pada ayam pejantan, diantaranya yaitu:
a. Automatic pan-type feeders.
b. Hanging hoppers (tube feeders).
c. Suspended feeder track.
Hanging hoppers (tube feeders) dan suspended feeder track, keduanya digantungkan dari atap kandang dan tinggi tempat pakan dapat disesuaikan tinggi pejantan. Ketika menggantung hanging hoppers pakan diisi secara manual, penting bahwa pakan yang diberikan sama kualitasnya dan hanging hoppers tidak miring ke satu sisi. Suspended feeder track sebagai tempat pakan pejantan telah terbukti berhasil, karena pakan dapat diratakan atau menyamakan keluar pakan sehingga pakan dapat terdistribusi dengan baik (Aviagen, 2013).
Tinggi tempat pakan pejantan disesuaikan dengan benar sehingga semua pejantan memiliki akses yang sama untuk makan. Tinggi tempat pakan pejantan yang benar digantung dengan ketinggian 50-60 cm (20-24 in) di atas litter. Pengamatan harian dan penjadwalan waktu makan diperlukan untuk memastikan bahwa tinggi tempat pakan pejantan tetap benar (Aviagen, 2013). Perawatan harus juga perlu diperhatikan untuk menghindari memberikan ruang makan terlalu banyak untuk pejantan, karena pejantan lebih agresif akan makan terlalu banyak, keseragaman bobot tubuh pejantan akan menurun, dan penurunan performa reproduksi akan terjadi.
5.6. Kontrol Bobot Badan dan Penyeragaman
Kontrol bobot badan dilakukan untuk menyeragamkan bobot badan agar sesuai standarnya. Penimbangan bobot badan dapat dilakukan dengan menggiring ayam pelan-pelan dan membatasi dengan jala, namun apabila kandang terlalu besar maka penimbangan dapat dilakukan secara sampling yaitu dengan mengambil 10% setiap sudut dari populasi. Bobot badan yang terlalu tinggi menjadi salah satu penyebab produksi sperma menurun dan menyulitkan betina menopang berat pejantan ketika perkawinan (Sudaryani dan Santosa, 2004). Keseragaman tidak hanya menyangkut pada bobot badan saja tetapi tetapi juga dalam hal perkembangan ayam.
5.7. Perkandangan
Lokasi peternakan pembibitan ayam ras dipilih yang memenuhi syarat-syarat berikut: 1). Terisolasi dari pemukiman penduduk dan peternakan unggas lainya, namun kemudahan akses transportasi juga harus diperhatikan. 2). Jarak terhadap usaha peternakan unggas lainya minimal 1 km. 3). Harga tanah dan ketersediaan sumber air yang menyangkut jumlah dan kualitas air yang mendukung. 4). Sesuai untuk usaha peternakan. Apabila lokasi telah diperoleh, maka perlu dibuat pagar rapat dengan tinggi minimal 2 m (Sudaryani dan Santosa, 2004).
Pertimbangan lain untuk memilih lokasi kandang adalah kandang harus berada di tempat yang lebih tinggi agar sirkulasi udara lancar, jarak antar kandang tidak terlalu berdekatan, kandang dibangun membujur dari timur ke barat agar ayam mendapat sinar matahari yang cukup (Sudaryani dan Santosa, 2004).
5.8. Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit bertujuan untuk menyelamatkan ternak ayam yang dipelihara dari gangguan penyakit. Pencegahan penyakit dilakukan dengan tujuan antara lain memperkecil angka kematian, menjaga kondisi ayam, serta meningkatkan resisten ayam terhadap penyakit. Upaya pengurangan penyebaran penyakit salah satunya adalah memisahkan ayam sakit dari kelompoknya (Sunarti dan Yuwono, 1997). Program sanitasi atau biosecurity perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya perpindahan bibit penyakit menular sehingga ternak yang dipelihara dapat terbebas infeksi penyakit (Polana, 2004).
Metode pencegaha penyakit seperti dengan pelaksanaan program sanitasi yang ketat, efektif, kontinyu, dan ekonomis. Untuk mencegah timbulnya bibit penyakit dari luar kandang maka semua yang masuk ke lingkungan kandang harus disuci hamakan. Memberantas bibit penyakit yang mungkin menyerang ternak ayam dalam peternakan adalah dengan cara desinfeksi yang bertujuan meningkatkan daya tahan ternak terhadap penyakit, memperbaiki kualitas bibit ayam, kualitas ransum, dan pemberian pakan yang cukup sesuai standar pemberian (Supirjatna dan Kartasudjana, 2006)
VI. METODOLOGI
Praktek kerja lapangan ini akan dilaksanakan di peternakan pembibitan ayam PT. Super Unggas Jaya, Boyolali pada tanggal 14 Februari - 7 Maret 2015.
6.1. MATERI
Materi yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan ini adalah peternakan pembibit PT. Super Unggas Jaya, Boyolali terutama yang berkaitan dengan aspek manajemen ayam pejantan pembibit.
6.2. METODE
Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah studi kasus dan partisipasi selama kegiatan Praktek Kerja Lapangan. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung dan partisipasi aktif dari unit pembibitan, hasil wawancara yang berpedoman dengan daftar kuisioner dengan pemilik dan petugas kandang di peternakan tersebut. Data sekunder diperoleh data perusahaan dan monografi perusahaan. Data yang diperoleh dijadikan acuan atau dasar yang kemudian diolah secara diskriptif dalam penyusunan laporan Praktek Kerja Lapangan.
VII. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Praktek kerja lapangan ini akan dilaksanakan tanggal 14 Februarisampai 7 Maret 2015 bertempat di peternakan ayam pembibit PT. Super Unggas Jaya Devisi Breeding, Boyolali, Jawa tengah.
VIII. JADWAL KEGIATAN
Kegiatan | Januari | Februari | Maret | April | Mei | Juni | |||||||||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | | |
Persiapan | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
Pengambila Data | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
Analisis data | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
Penyusunan Laporan | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
Konsultasi | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
Ujian | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
DAFTAR PUSTAKA
Aviagen. 2013. Arbor Acres Parent Stock Handbook.
Hasan. 2004. Menentukan Waktu Afkir Layer. Poultry Indonesia, Jakarta.
Hubbard. 2011. Breeder Nutrition Guide.
Leeson, S. Dan J. D. Summers. 2009. Broiler Breeder Production. Nottingham University Press, Nottingham, England.
North, M. O. dan D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Fourth Edition. The AVI Publishing Company, United States of America.
Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Petunjuk Teknis Pengawasan Mutu Bibit Induk Ayam Ras Umur Sehari (DOC-PS).
Polana, A dan R. Fadilah. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agromedia, Jakarta.
Sudaryani, T dan H. Santosa. 2002. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sudaryani, T dan H. Santosa. 2004. Pemeliharaan Ayam Ras Petelur di Kandang Baterai. Cetakan VII. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Sunarti, D. dan W. E. Yuwono. 1997. Manajemen Kandang Ayam Ras Pedaging. Trubus Agriwidaya, Semarang.
Suprijatna, E dan R. Kartasudjana. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkomentar,semoga bermanfaat